twitterfacebookgoogle plusrss feedemail

Sabtu, 13 April 2013

Pemakan Mimpi

Seratus masa di kastil bencana


Anak tak berbaju itu tak lagi bisa terlelap. Purwarupa mimpinya yang hanya secuil telah ludes di gasak para pemakan mimpi. Isak tangisnya runcing mencungkil mata dan tajam mengiris kulit. Lara hati dan tubuhnya lebih dera daripada saat sang kinasih melepas nyawa. Lapar, haus, rindu dan dendam menumpuk membebani pundaknya. Namun setiap saat ia masih sempat memanjat langit mencoba membawa setitik nur ke hamparan buana.

Sesaat masa di kastil kencana


Para pemakan mimpi itu ribut riuh bersendawa sambil menimang - nimang perut buncit mereka di peranginan. Wujud mereka menyerupai tikus, ular, harimau atau kombinasi dari ketiganya. Otak mereka sangat besar. Bukan karena pandai tapi telah membengkak oleh virus kebodohan yang tak sanggup mereka obati. Telinga mereka dipenuhi kesenangan dan bisikan nafsu. Sehingga tragedi terdengar seperti komedi. Larangan terdengar seperti gurauan. Malangnya, jumlah pemakan mimpi ini bukan hanya satu dua saja tapi sangatlah banyak, nyaris menjadi mayoritas dan celakanya mereka adalah pemegang tampuk kekuasaan atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Mereka paham seluk beluk setiap lorong mimpi. Mereka tahu bagaimana membuat orang tetap bermimpi meski mimpi itu sudah tidak lagi bernyawa. Mereka juga rajin menggosok gigi dan mencuci tangan agar tak tampak bekas urat - urat mimpi yang tersangkut disela - sela gigi mereka. Dan sebagai pemanis wajah, topeng senyum nan lembut senantiasa menutupi paras buruk mereka.

Suatu ketika di kastil nirwana


Anak tak berbaju itu terlelap dipelukan bumi. Angin yang membawa semerbak harum aroma nirwana membangunkannya. Ketika ia membuka mata ia pun lupa bahwa ia pernah sengsara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bicaralah
sebagai yang memiliki jiwa
atau yang memiliki cinta
atau yang memiliki karsa
atau diam merenungi makna