twitterfacebookgoogle plusrss feedemail

Selasa, 16 April 2013

Kutukan Padang Larangan

"Mama siap?"
Aku tersenyum,
"Bukankah sudah sejak lama mama ingin semua orang tahu bahwa ayah adalah lelaki baik yang tak bersalah."
Lelaki bertubuh kekar itu menatap mataku.
"Dan inilah saatnya." lanjutku mantap.
Lelaki bertubuh kekar itu memeluk tubuh mungilku.

Lelaki bertubuh kekar itu adalah suamiku. Dulu ia nikahi aku tanpa perasaan cinta sedikitpun. Ia nikahi aku demi sedikit memperbaiki aib yang terlanjur aku corengkan akibat bodohnya keremajaanku. Padahal ketika itu ia sedang asyik memadu kasih dengan kak Yunita, tetanggaku yang rumahnya hanya diselai satu rumah dari rumahku.

Aib itu bermula saat aku masih di kelas dua SMP dan anehnya diusia sebalig itu aku malah jatuh hati pada seorang pria beristri. Pria beristri yang pandai membujuk rayu hingga aku merelakan tubuhku disentuhnya. Berkali - kali. Dan ketika sentuhan itu menembus rahim, pria beristri itu sembunyi dibalik punggung istrinya. Keluargaku kalut. Aku dimarahi habis - habisan. Setiap hari aku hanya bisa menangis dan menangis menyesali apa yang terlambat aku ketahui. Betapa aku tahu itu dosa tapi sungguh aku tidak tahu bahwa sentuhan - sentuhan itu dapat menjadikan aku seorang ibu dengan atau tanpa nikah. Oh Tuhan mestinya pengetahuanku tentang dosa cukup untuk menakutiku dari perbuatan terkutuk ini. Namun penyesalanku tak mampu mengubah takdir atau membalikkan waktu.

Aku sudah tidak bersekolah lagi. Seharian aku habiskan di dalam rumah. Para tetangga mulai bertanya - tanya dan tak perlu waktu lama, entah dari mana datangnya berita kehamilanku merebak. Padahal kami sudah menjaganya sedemikian rupa, bahkan jangan kata orang lain famili kami pun hanya beberapa yang tahu. Lebih anehnya lagi yang disebut - sebut menghamili aku adalah kak Sam, pemuda tampan kampung tetangga, pujaan hati kak Yunita.

Tiba - tiba aku teringat sesuatu. Malam itu, ketika kak Sam yang tengah berjalan berdua dengan kak Yunita memergoki aku dan pria beristriku tengah bermesraan dikeremangan. Keduanya tidak mampu menyembunyikan kekagetan yang sarat saat mengetahui siapa pria yang bersamaku. Kak Yunita lalu mengajak aku untuk pulang tapi aku menolak. Kak Yunita terus membujuk dan aku tetap menolak. Akhirnya pria beristriku yang semula diam, lantang bersuara.
"Kalau dia nggak mau pulang ya jangan dipaksa."
"Tapi bang, ini sudah terlalu larut malam, tak baik untuk dia." Kak Sam yang menjawab.
"Tapi kan ada aku yang menjaga." pria beristri ngotot.
"Terus terang aku meragukan itu bang." tepis kak Sam tetap dengan suara yang terkendali.
"Apa maksud kamu Sam?"
"Anak istri abang yang seharusnya abang jaga, abang tinggalkan begitu saja, maka mana mungkin saya tidak ragu dengan niat penjagaan abang."
Percekcokan pun pecah tapi tak lama karena aku buru - buru mengiyakan untuk pulang.

Aku curiga pria beristri itulah yang menyebarkan aib dan membuat fitnah ini. Hanya dia orang luar yang tahu tentang kehamilanku dan teramat mustahil jika pihak keluargaku sendiri yang telah menepuk air di dulang. Dan sebelum semuanya semakin kacau aku harus memberitahu kak Yunita bahwa apa yang dituduhkan pada kak Sam adalah fitnah belaka.

* * *

"Mardiyah."
"Ya ayah."
"Besok malam keluarga Sam akan datang mengantar lamaran."
"Apa??!"
Aku kaget tak alang kepalang. Aku tidak menyangka ayah terinspirasi dengan fitnah itu dan bagaimana mungkin kak Sam mau menerima permintaan ayahku. Kak Sam memang baik - itu yang sering aku dengar dari kak Yunita - tapi sungguh di luar dugaanku kak Sam mampu melakukan kebaikan tingkat tinggi seperti ini. Perasaanku benar - benar tak karuan. Aku ingat kak Yunita dan kebaikannya selama ini. Betapa hancur hatinya jika pria yang ia cintai malah menikah dengan aku, gadis yang ia anggap adiknya sendiri. Ingin rasanya aku mati saja tetapi aku tak mau menambah dosa lagi. Akhirnya aku hanya bisa menangis dan pasrah. Sungguh begitu besar malapetaka yang aku bawa pada sekelilingku akibat kebodohanku. Yaa Allah ampuni aku...

Seminggu setelah pernikahan kami, kak Sam mengajak aku pindah ke kota. Ia tak ingin keberadaan dan kebersamaan kami menyakiti kak Yunita walaupun sebenarnya kak Yunita telah mengetahui semuanya dan ikhlas melepas kak Sam. Namun sehari sebelum berangkat, kak Sam mengakui kalau sebenarnya dialah yang tak kuat jika melihat kak Yunita bersama orang lain.

"Ma...mama...,...mama!!"
"Ya...iya...a..ada apa?" aku tergagap.
"Acara udah mau dimulai tuh?"
Aku bergegas menyusul suamiku ke ruang tengah rumah ayahku. Hari ini adalah hari pernikahan putra sulungku, Rizal. Kami sengaja menghelat acara ini di kampung halaman kami, selain karena mempelai wanitanya berasal dari kampung yang sama, juga untuk melaksanakan niatku membersihkan nama suamiku yang selama ini rela menerima fitnah dan cemooh orang sekampung atas laku yang tidak ia perbuat. Atas dosa yang aku buat. Perihal Rizal aku sudah tidak khawatir, sejak usianya 16 tahun kami sudah menceritakan semua tentang dirinya. Walau awalnya ia sangat terpukul tetapi perlahan - perlahan bisa menerima.

Mataku mengitari seluruh ruangan, mencoba mengenali setiap yang hadir. Sebagian ada yang masih aku kenali, sebagian lagi aku benar - benar tidak tahu atau mungkin lupa. Selama 25 tahun kami meninggalkan kampung ini dan hanya sesekali pulang membuat memoriku berjuang keras untuk merangkai kembali potongan - potongan wajah yang pernah akrab di kehidupanku dahulu. Sayang si pria beristri itu sama sekali tidak tampak, mungkin ia tak punya nyali menunjukkan batang hidungnya di sini. Padahal aku akan membuat kejutan untuknya.

Saat aku sibuk dengan pikiran - pikiranku, tahu - tahu acara sudah dimulai. Pak Penghulu menjabat tangan Rizal yang tampak agak tegang. Kemudian beliau mengucap ijab.
"Bismillahirrahmanirrohim. Saya nikahkan kamu dengan Rita Hafsari binti Rosihan Ishaq de..."
"Apa?!!"
Semua yang hadir terperanjat dengan selaanku.
"Pak, Bapak tidak keliru menyebut bintinya?" tanyaku pada Pak Penghulu sebelum yang lain sempat menanyakan keterkejutanku.
"Ya, seperti itu yang tertulis di sini." Penghulu menunjukkan selembar kertas yang bertuliskan nama Rita dan nama ayahnya persis seperti yang beliau sebutkan tadi. Aku mendadak tegang, perasaanku mulai tak nyaman. Kutoleh ibunya Rita, beliau menunduk dengan muka merah, malu. Perasaanku semakin kacau. Yaa Tuhan ada apa ini? Aku berpaling ke Rita yang tampak sangat tertekan.
"Rit, bukankah ayah kamu Pak Junaidi?" tanyaku sambil menunjuk Pak Junaidi yang duduk di samping istrinya. Rita menunduk, diam. Tampak ingin menangis.
"Rita katakan ada apa ini?"
Aku semakin tegang dan semakin takut.
"Bu...maafkan Rita..." akhirnya, Rita menatap aku dengan mata berkaca - kaca, "Selama ini Rita tak berterus terang, sebenarnya Pak Junaidi adalah ayah tiri Rita...beliau menikahi ibu saat ibu mengandung Rit..."
Semua gelap, gelap dan semakin gelap. Terakhir yang aku dengar adalah teriakan histeris Rita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bicaralah
sebagai yang memiliki jiwa
atau yang memiliki cinta
atau yang memiliki karsa
atau diam merenungi makna