twitterfacebookgoogle plusrss feedemail

Minggu, 14 April 2013

Mengharap Citra Setinggi Langit, Cinta Di Tangan Dilepaskan

Sang Pelukis buntung itu masygul, ia merasa galau. Lukisannya tak pernah selesai dan hampir semua yang lewat di depan pondok lukisnya selalu mengiangkan komentar sumbang. Bahkan beberapa hari yang lalu seekor anjing merobek bagian hidung dari lukisannya karena memang lebih mirip tulang daripada hidung. Anjing salah mata itu nyaris mati ia tembak kalau saja tidak bergegas kabur dan raib di rumah tetangga.

Sang Pelukis buntung hanya ingin melukis dirinya dengan gambaran yang sempurna dan manis terlihat. Teman - temannya mendukung semua daya upayanya dan memberi nilai sempurna untuk lukisan setengah jadi itu. Tapi mengapa mereka yang sekedar lewat dan melihat sekilas malah mengatakan dia sungguh tak pantas jadi pelukis? Dahulu banyak yang mencinta dan memujinya. Kini semua membenci dan memojokkannya. "Duhai sempurnaku di manakah letak salahku?"

Seorang anak kecil yang lewat di depan pondok lukisnya tertegun mendengar keluhan paling pede (atau paling bodo) yang pernah ia dengar, "Pak Tua, kesalahan bapak akan sempurna jika bapak hanya bisa melamun seperti itu. Lebih baik bapak ambil sapu dan mulai membersihkan dedaunan kering yang berserakan di halaman rumah bapak ini." Merah kuping Sang Pelukis buntung mendengar celoteh si anak. Nasib baik anak itu segera berlalu, jika tidak pasti ia bernasib buruk. Mungkin kasut butut Sang Pelukis buntung akan menimpa kepalanya.

Mata Sang Pelukis buntung mengitari luas halaman pondok. Dalam hati ia bergumam, benar juga itu anak. Tapi bukannya mengambil sapu, Sang Pelukis buntung justru merenungi pohon meranggas di atas dongakannya. Hmm...pohon ini rela kehilangan indah rindangnya demi tetap hidup hingga kelak musim berganti. Tiba - tiba dia tersentak dan berlari ke dalam. Dalam hitungan menit Sang Pelukis buntung pun sudah keluar bersama peralatan lukisnya.

Sang Pelukis sudah tidak masygul lagi, kegalaupun telah sirna. Lukisan pohon meranggas itu begitu alami. Semua yang melihat berdecak kagum dan mengacungkan jempol. Seekor burung pelatuk tampak bingung memilih diantara dua pohon meranggas itu.

Demikianlah akhir bahagia dari cerita Sang Pelukis buntung yang ditulis si pembawa cerita. Namun kejadian sebenarnya tidaklah seperti itu, Sang Pelukis buntung justru menebang pohon meranggas yang telah memberinya pencerahan. Ia tersinggung dan kalap mendengar ucapan pohon yang dianggapnya sebuah ejekan, "Citra akan membuatmu lemah dan menderita. Cinta akan menjadikanmu kuat dan tulus." Sampai kini Sang Pelukis buntung masih terus melukis dirinya sendiri dan siapa saja yang berani mengusik keasyikannya pasti akan dilempar dengan kasut bututnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bicaralah
sebagai yang memiliki jiwa
atau yang memiliki cinta
atau yang memiliki karsa
atau diam merenungi makna