tag:blogger.com,1999:blog-11952474128403265252024-03-14T03:42:13.673+07:00GeliMata(bukan) Sekadar Penggeli Matamaliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.comBlogger26125tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-60303147726224024682020-10-26T09:10:00.000+07:002020-10-26T09:10:55.721+07:00Sibuk<i>Semua orang telah disibukkan;</i><div><i>Ada yang sibuk dengan dirinya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan hartanya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan angannya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan impiannya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan penderitaannya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan kesuksesannya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan keluarganya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan nafsunya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan dosanya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan tuhannya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan aib sesamanya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan eksistensinya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan televisinya,</i></div><div><i>Ada yang sibuk dengan gawainya.</i></div><div><i>Sedikit yang mendapat upah [pahala]</i></div><div><i>Lainnya, hanya mendapat lelah [sia - sia]</i></div><div><br></div><div> </div><div><br></div><div> Sanggulan, 09 Robi'ul Awwal 1442</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-80153533519107313632013-12-20T13:40:00.000+07:002013-12-20T13:40:15.382+07:00Lelaki Bodoh<div style="font-family:arial,helvetica,sans-serif;font-style:italic;text-align:left;">Aku belum bisa menjadi petala langit,<br />
Sbagaimana yang kau minta<br />
Atapi buana<br />
Menggantung purnama yang tak pernah sabit,<br />
Sbagaimana yang kau pinta<br />
Terangi persada<br />
<a name='more'></a><br />
Lalu aku berkata,<br />
"Gantungkanlah di hatiku saja."<br />
Agar daulah kegelapan berganti tahta cahaya<br />
Kau yang tahu<br />
Aku adalah gulita<br />
Tersenyum seraya berkata,<br />
"Bukan bulan pun surya tapi cahaya di atas cahaya.<br />
Dan kau tahu dimana, ambillah segera,<br />
Bukan besok pun lusa."<br />
<br />
Masa berpusing entah berapa<br />
Lelaki itu masih sama<br />
Berkhidmat pada gulita<br />
Membiak angan menyepuh asa</div><br />
<p style="text-align:right;color:grey;">Sanggulan, Ultimo 2013</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-7373527943132767412013-11-10T09:04:00.002+07:002013-11-10T09:04:53.664+07:00Pulang<div style="text-align:left;font-style:italic;">Apakah sangkamu<br />
Tentang perjalanan ini?<br />
Inilah perjalanan pulang<br />
Ke tanah abadi<br />
Negeri asal muasal<br />
<a name='more'></a><br />
Kita adalah anak - anak sang pertama<br />
Kita adalah anak - anak yang harus pulang<br />
Menempati tanah yang dijanjikan<br />
Menepati janji yang telah terucapkan<br />
<br />
Kita tidak pernah pergi<br />
Sejauh apapun jalan terlalui<br />
Kita sedang pulang<br />
Bertegur-sapalah dan ambil pelajaran<br />
Kita tidak pernah pergi<br />
Sejulang apapun gunung didaki<br />
Kita sedang pulang<br />
Kuatlah dan tataplah langit<br />
Kita tidak pernah pergi<br />
Sedalam apapun samudera diselami<br />
Kita sedang pulang<br />
Reguklah dan ambillah mutiara<br />
Kita tidak pernah pergi <br />
Securam apapun lembah dituruni<br />
Kita sedang pulang<br />
Istirohlah dan bersiap mendaki<br />
Kita tidak pernah pergi<br />
Sekeras apapun kerja dilakoni<br />
Kita sedang pulang<br />
Bersabarlah dan ikhlas menekuni<br />
<br />
Pulang<br />
Di tepi kanan kirinya<br />
Tegak rindang pepohonan<br />
Lebat ranum bebuahan<br />
Tumpah ruah perbekalan<br />
Kita sedang pulang<br />
Ingatlah kita sedang pulang<br />
Ambillah apa yang mesti dan bisa diambil<br />
Tinggalkan yang sia - sia dan melenakan<br />
Sujudi sajadah para nabi<br />
Agar tak sasar<br />
Di jurang berkala dan berapi<br />
<br />
Kita sedang pulang<br />
Ingatlah, kita tidak pernah pergi<br />
Selalu merasa senang<br />
Meski kaki terinjak duri</div><br />
<br />
<div align="right">Sanggulan, 2013</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-45376809500971676932013-11-04T13:33:00.000+07:002013-11-04T13:33:21.511+07:00Tanah<div align="justify">"Asal dari tanah kembali kepada tanah", itu sebuah kalimat sakti yang pernah aku dengar dari sebuah film horor. Tujuannya untuk menghancur-leburkan sosok setan yang menghantu. Sebuah frase yang salah kaprah karena setan berasal dari api dan bukan dari tanah. Tapi di film tak ada yang mustahil, setan itu musnah berabu. Jadi biarlah.<br />
<a name='more'></a><br />
Tanah itu seperti manusia (atau manusia yang seperti tanah?), ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang diam, ada yang selalu bergerak, ada yang lemah lembut dan ada yang kalap. Tanah bisa menerima apa saja. Yang bersih, yang kotor, yang indah, yang menjijikkan, yang wangi, yang busuk, tanah tak peduli. Sebagian manusia ada yang bijaksana menerima pujian, bijaksana mendapat cacian. Sebagian manusia ada yang syukur memperoleh nikmat, sabar mendapat musibah.<br />
<br />
Semua orang bahkan hewan tahu, tanah pandai menyimpan rahasia. Lihatlah anjing yang sibuk menyembunyikan tulang di dalam lubang tanah yang ia gali. Tengoklah perompak atau orang - orang yang kita sebut nenek moyang menjadikan tanah sebagai bank tempat menyimpan uang dan harta berharga mereka.<br />
<br />
Tanah pun pandai menyimpan sejarah dari peradaban dunia. Baik yang sengaja ia simpan dengan kekerasan atau dengan diam - diam mengikuti kehendak sang waktu. Kadang tanah tak mengunyah semua yang telah ia makan. Sebagian ia biarkan apa adanya hingga berabad - abad. Tentu tanah punya maksud.<br />
<br />
Tanah juga pandai menyimpan amanat. Penguasa alam berani menitipkan banyak harta berharga. Untuk manusia, untuk tumbuh - tumbuhan dan untuk hewan. Mungkin tanahlah makhluk paling kaya di muka bumi ini. Dan karenanya manusia - manusia serakah tidak pernah berhenti menjajah tanah. Tak akan berhenti mengeruk tanah hingga semua yang ia peluk dan genggam habis ludes tak berbekas.<br />
<br />
Di pelosok - pelosok negeri ini, persaudaraan karib terbunuh ketika tanah tiba - tiba berubah menjadi uang ratusan juta. Darah mengalir, ruh - ruh gundah menangisi raga yang terkulai. Pengusaha, pemerintah, polisi, tentara, pengadilan bersatu memusuhi rakyat ketika tanah<br />
tampak lebih menggiurkan dan seksi dari model iklan kosmetik.<br />
<br />
Tanah punya banyak cerita. Ia lebih tua dari kita. Ia telah melewati hal - hal yang tak pernah kita lalui. Dekatkanlah telinga dan dengar bisikannya tentang semua yang telah terjadi di atasnya. Bukalah mata dan lihatlah, apa dan siapa yang telah terkubur di dalamnya. Asal dari tanah kembali kepada tanah.</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-17744768416060516052013-11-02T13:38:00.000+07:002013-11-02T13:38:20.840+07:00Dibunuh Takut<div align="justify">Tak ada yang terlampau menyedihkan dan pandir melebihi ketakutan pada angan - angan sendiri. Takut pada sesuatu yang belum pasti terjadi. Takut pada sesuatu yang belum pasti ada. Jiwaku, pandir dan menyedihkan. Menurut saja apa - apa kata takut tanpa berani melakukan perlawanan meski sadar semua ucapan takut banyak bohong dan salahnya.<br />
<a name='more'></a><br />
Jiwaku pandir dan menyedihkan. Piara takut dari kecil hingga membesar melebihi besar dirinya sendiri. Kau tahu, manakala piaraanmu telah lebih berdaya dari dirimu, kau akan diperbudak dengan sangat kejam hingga akalmu menjadi gagap (dan pada gilirannya menjadi gagu). Lalu urat - belurat dan tulang - belulang tak lagi mampu mengenali dan menterjemahkan perintahnya. Rasakan seperti apa buruknya penghidupanmu.<br />
<br />
Jiwaku pandir dan menyedihkan. Lidahnya kelu dan bibirnya luka. Tak ada makanan yang sanggup ia telan meski beraneka ragam dan pelbagai citarasa makanan yang nikmat - nikmat tersaji di depan persilaannya. Semua hanya lezat pada matanya, tidak pada rasanya. Kurus, dekil dan nyaris debil, seperti itu keadaannya.<br />
<br />
Jiwaku pandir dan menyedihkan. Hidup sekarat dalam lambung takut. Tenggelam dalam cairan praduga yang pekat dan gelap. Muasal dari segala cerita momok, penghantu jiwa. Meski tanpa bukti dan dalil yang shahih, semua cerita itu terjilid dalam kitab sunan yang terus menerus dibaca berulang - ulang.<br />
<br />
Aku mencoba bertanya pada Jiwaku yang pandir dan menyedihkan, siapa gerangan yang mula mengenalkan takut padanya? Ataukah takut datang memperkenalkan dirinya sendiri? Jiwaku terdiam cukup lama, sepertinya ia mencoba membuat analisa dari apa yang pernah ia saksikan pada jiwa - jiwa lain yang juga menderita dan dari tutur sejarah yang masih dapat ia ingat. <br />
<br />
Jiwaku tampak hendak bicara tapi masih terdiam. Mungkin sedang mencari kata yang tepat untuk ungkapkan pikirannya. Dan akhirnya, "Aku dikenalkan oleh orang - orang terdekatku". Sambil mengangguk - angguk seolah semakin meyakini pikirannya, "Ya, mereka yang telah mengenalkan aku pada takut. Mereka mengenalkan aku pada takut hantu dan takut kalah, lalu seakan aku ini tanah subur, mereka pun - para takut itu, beranak pinak dan tumbuh biak memenuhi mayapadaku yang masih kosong dari ilmu dan kebenaran".<br />
"Kapan itu?" tanyaku.<br />
"Saat aku masih anak - anak."<br />
"Lalu, bukankah sekarang kau sudah mempunyai ilmu dan tahu kebenaran tapi mengapa kau masih takut?"<br />
"Aku telah lama mati, dan yang kau lihat sekarang ini hanyalah sesosok mayat hidup."<br />
Aku tertawa, "Jiwaku, kau terlalu mendramatisir. Kau belum mati, kau hanya sakit...dan itu ada obatnya."<br />
"Apa obatnya?" tanya Jiwaku cepat, namun agak sinis. Mungkin karena putus harapan.<br />
<br />
Aku tak serta merta menjawab, kuhela napas sepenghirupan lalu kuhembus, rasanya sangat nikmat dan melegakan. Sesak napas ringan yang aku derita membuat dadaku terasa beku.<br />
"Kau harus lebih kenal dengan para takut." kutatap anak matanya yang sudah tak lagi hitam.<br />
Jiwaku mengernyitkan dahi, alis tebal kembarnya nyaris bertaut dan sesaat kemudian ia terbahak - bahak. Aku jadi ingin tertawa melihat bagaimana rupa wajahnya ketika tertawa sambil menahan rasa sakit. Tapi aku tak tega, jadi aku biarkan ia menghabiskan sisa tawanya.<br />
"Jadi itu obatnya?" Jiwaku tampak belum serius, masih ada gurat halus senyum dikedua ujung bibirnya.<br />
"Iya." tegasku, lebih serius dari sebelumnya.<br />
Jiwaku menatapku, "Apa kamu lupa bahwa aku sudah puluhan tahun bersama para takut?"<br />
"Tapi itu tidak berarti bahwa kau mengenali siapa dan bagaimana mereka sebenarnya." bantahku dengan sedikit melembutkan suara.<br />
"Hei men...aku sudah sangat mengenal mereka melebihi dari apapun yang diketahui orang tentang mereka. Aku bukan hanya tahu siapa dan bagaimana tapi juga apa, mana, bila dan mengapa mereka, para takut terkutuk itu." suaranya meninggi.<br />
<br />
Aku tak ingin membuatnya lebih tak bisa mengendalikan emosinya, jadi aku langsung pada prolog maksudku.<br />
"Kamu ingat nggak saat kita masih kecil dan belum bisa berenang? Bukankah waktu itu kita sangat takut dengan air?"<br />
Jiwaku tak bereaksi tapi tampak menyimak.<br />
"Dan kamu juga pasti tahu apa yang terjadi setelah kita bisa berenang? Kita mandi, berenang, menyelam dan bermain setiap hari. Baru berhenti kalau sudah dimarahi ayah." kulihat matanya berbinar kukenangkan masa kecil kami yang teramat indah.<br />
"Semua itu bisa kita lakukan karena kita telah tahu sisi lain dari air. Air memang bisa menenggelamkan bagi mereka yang hanya tahu air menenggelamkan. Tapi bagi yang tahu keajaibannya, air justru mengangkatnya meskipun tanpa menggerakkan tangan dan kaki. Kesalahan memang merugikan bagi mereka yang hanya tahu bahwa salah merugikan. Tapi bagi yang tahu keajaibannya, salah justru menunjukkan mereka pada kebenaran. Kalah memang menyakitkan bagi mereka yang hanya tahu kalah menyakitkan. Tapi bagi yang tahu keajaibannya, kalah justru memberitahukan cara merebut kemenangan. Jadi sejatinya tidak ada yang menakutkan dan perlu ditakuti."<br />
<br />
"Bagaimana dengan hantu? Keajaiban apa yang bisa diberikan hantu?" Jiwaku bersuara lagi.<br />
"Hantu?" Aku menggeleng, "Aku belum pernah ketemu hantu. Emang kamu pernah?"<br />
Giliran Jiwaku yang menggeleng.<br />
"Lalu bagaimana kamu tahu hantu itu menakutkan?"<br />
"Dari cerita orang dan film." jawab Jiwaku polos.<br />
"Hanya itu?"<br />
"Hanya itu."<br />
"Ya udah."<br />
"Udah?"<br />
"Kan cuma kata orang dan kata film."<br />
<br />
Jiwaku diam. Aku pun diam. Sementara malam semakin sunyi.<br />
<br />
Jiwaku diam. Aku pun diam. Sementara malam semakin larut. Aku rebahkan kantukku di atas kasur tua ini dan sebelum terlelap aku masih sempat berharap, semoga besok Jiwaku tak lagi rapuh. Dan... menyedihkan.</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-83187391249742662932013-11-01T14:03:00.001+07:002013-11-01T14:23:50.389+07:00Beri Waktu Kepada Waktu<div align="justify">Banyak kesedihan, kedukaan, penderitaan dan kepayahan yang menghiasi kehidupan setiap manusia. Dari yang sekadar menyesakkan dada sampai yang mampu mengurai airmata. Tetapi pada akhirnya tanpa disadari semua itu hilang dan terlupakan.<br />
<a name='more'></a><br />
Waktu terus berputar. Perputarannya kadang mengawali sebuah cerita. Perputarannya pun kadang mengakhiri sebuah cerita. Bila bab cerita lama telah ditutup pertanda bab cerita baru akan dimulai. Bila sebuah cerita telah berakhir, waktu akan menyimpannya pada ruang sejarah. Sementara emosi yang menghiasi cerita itu dihapus sedikit demi sedikit bersama munculnya emosi baru di dalam cerita baru. <br />
<br />
Bila hari ini waktu mengakhiri kisahmu dengan kesedihan dan kepedihan, maka akan segera datang jalinan cerita baru yang membahagiakan. Jadi jangan terburu - buru mengakhiri kisah sedihmu dengan membunuh waktu tapi berilah sedikit waktu kepada waktu untuk merangkai cerita baru dengan emosi baru dan semangat baru.</div><br />
Selamat mengarungi kisah baru kawan :-)maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-88804095619772071172013-06-01T11:14:00.001+07:002013-06-01T11:14:18.415+07:00Peminta Hati<div style="text-align:left;font-style:italic;">
<br />Hari ini,
<br />Mereka menjadi ibu
<br />Bicara dengan bahasa hati
<br />Sangat fasih
<br />Bertajuk cinta
<br />Tentang kasih sayang
<br />Hari ini, <a name='more'></a>
<br />Mereka menjadi Tuhan
<br />Menulis masa depan
<br />Enyahkan lapar
<br />Hilangkan dahaga
<br />Tutupi aurat - aurat
<br />Hari ini,
<br />Mereka menjadi apa saja
<br />Untuk meminta hati
<br />Hati yang rindu
<br />Terangnya matahari
<br />Lembutnya rembulan
<br />
<br />Hanya hari ini
<br />Benar, hanya hari ini
<br />Besok lusa,
<br />Kala semua hati kau berikan
<br />Mereka menjadi setan
<br />Bersabda dengan bahasa nafsu
<br />Padamkan syari'at
<br />Benamkan hakikat
<br />Lupakan amanat
<br />
<br />Mereka <a href="http://gelimata.blogspot.com/2013/04/peminjam-tangan-tuhan.html" target="_blank" title="Peminjam Tangan Tuhan">meminjam tangan Tuhan</a>
<br />'Sbagai tumbal persembahan
<br />Bagi setan - setan birahi
<br />Di otak - otak mereka
<br />Sesungguhnya,
<br />Mereka telah membeli tangan iblis
<br />Dengan harga yang tak mampu kau hitung
<br />Merenggut matahari
<br />Merampas rembulan
<br />Menaruhnya di bilik - bilik mereka yang mewah
<br />Siang gulita
<br />Malam membelam
<br />Jiwa - jiwa memucat
<br />Mimpi - mimpi lapar dan layu
<br />
<br />Hari itu,
<br />Mereka bicara dengan bahasa hati,
<br />Sangat bernafsu
<br />Bertajuk cinta
<br />Tentang kasih sayang
<br />Hanya hari itu
<br />Benar, hanya hari itu
<br />Besok lusa
<br />Mereka menjadi apa saja
<br />Demi merenggut jiwa
<br /></div>
<br />
<br /><p align="right" color="grey">Sanggulan, 2013</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-34145621082352396602013-05-26T09:20:00.001+07:002013-06-08T21:32:17.780+07:00Kepada Para Penjual Kematian<div style="align:left; font-style:italic;"
<br />Kawan
<br />(itu dalam benak kami, para pembeli kematian)
<br />Kau renggut nyawa - nyawa kami
<br />Dengan rasa manis
<br />Dengan nikmat yang memikat
<br />Dengan senyum yang menjerat
<br />Kami mati dalam sunyi
<br />Kami mati sebelum Izrail menghampiri
<br /><a name='more'></a>
<br />Kawan
<br />(itu dalam benak kami, para pembeli kematian)
<br />Kau dan kami adalah sama
<br />Insan dengan cinta
<br />Hati dengan sayang
<br />Qalbu dengan empati
<br />'Napa kau ingin berbeda?
<br />
<br />Kawan
<br />(itu dalam benak kami, para pembeli kematian)
<br />Kau meracik racun di cawan madu
<br />Bermain belati di balik punggung
<br />Menanam ranjau di aliran darah
<br />Merekat bom waktu di detak jantung
<br />Apa manusiamu?
<br />Siapa hatimu?
<br />
<br />Kawan
<br />(itu dalam benak kami, para pembeli kematian)
<br />Tak ada bahagia
<br />Bila kau aniaya
<br />Tak akan hilang dahaga
<br />Oleh darah dan air mata
<br />Tak dapat kau genggam dunia
<br />Dengan kepalsuan dan kemaruk jiwa
<br />
<br />Kawan,
<br />Para penjual kematian
<br />(kini lenyap dari benak kami)
<br />Kau perampas hak Tuhan
<br />Bersekutu dengan kegelapan
<br />Punahkan kehidupan
<br />Apa Tuhanmu?
<br />Siapa sembahanmu?
<br />
<br />Kawan,
<br />Kami para pembeli kematian
<br />Kami beri kau kehidupan
<br />Kau timpakan kami kematian
<br />Apa manusiamu?
<br />Siapa hatimu?
<br /></div>
<br />
<br /><p align="right">Sanggulan, 2013</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-47418826437327730732013-05-18T16:16:00.001+07:002013-06-08T21:43:25.295+07:00Luka Muda<div style="align:left;font-style:italic;">Anak muda itu telah kembali<br />
<br />
Setelah menyimak makna kata tantangan<br />
<br />
Di ujung - ujung kakinya<br />
<br />
Meski kecil, tak terlihat bekas luka<br />
<br />
Daki telah membalutnya<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Setelah tahu<br />
<br />
Ia pun mengasuh malam <br />
<br />
Membiarkan rambutnya kuning rembulan <br />
<br />
Menyelarakan tubuhnya pada lantai perahu <br />
<br />
Hatinyapun sudahlah terbengkalai <br />
<br />
Menitikkan liur serigala tua <br />
<br />
Lenyaplah manik matanya <br />
<br />
Pada tengah malam gelap berkabut <br />
<br />
Tak ada kata tanya <br />
<br />
Jawaban sudah dibenaknya <br />
<br />
<br />
Anak muda itu telah kembali <br />
<br />
Setelah menyimak makna kata kehilangan <br />
<br />
Ditiap - tiap pembuluh darahnya <br />
<br />
Meski samar, luka telah menganga <br />
<br />
Belati telah merobeknya</div><br />
<br />
<p align="right">Sanggulan, 2004</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-34624661986951048642013-05-13T09:01:00.001+07:002013-06-08T21:43:25.294+07:00Pembungkuk dan Pembangkang<div style="align:left;font-style:italic;">Aku masih membungkuk<br />
(dan senantiasa membangkang)<br />
<br />
Kitari langit,<br />
Kepakkan sayap takut<br />
Bentangkan sayap harap<br />
Masih tanpa cinta,<br />
Jika cinta adalah titah<br />
Aku belum menghamba<br />
Jika cinta adalah kuasa<br />
Aku masih meraja <a name='more'></a><br />
Jika cinta adalah nyawa<br />
Aku tlah mati<br />
<br />
Aku masih membungkuk<br />
(dan senantiasa membangkang)<br />
<br />
Tengadah<br />
Tangan tengadah<br />
Sanubari tengadah<br />
Roh tengadah<br />
Anugerah<br />
Indah dari tengadah<br />
Limpah dari tengadah<br />
Ramai dari tengadah<br />
Takut dalam kufur<br />
Garang tanpa syukur<br />
<br />
Aku masih membangkang<br />
(dan senantiasa membungkuk)<br />
<br />
Digenggam dikekang gelap membelam<br />
Mabuk dalam harapan<br />
Semu dan sesalan</div><br />
<p align="right">Sanggulan, 2012</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-30677846479105583942013-05-12T00:30:00.000+07:002013-06-08T21:43:25.292+07:00Asa Kirana<div style="text-align:left;font-style:italic;">siang - sianglah kau malam <br />
aku belum sempat mengais <br />
tong sampahmu pada menit bagianku <br />
tulang - belulangku direbut kelalaian <br />
<a name='more'></a> <br />
terang - teranglah kau gelap <br />
aku masih berlumur najis <br />
di kubangan nafsu pada hari jahilku <br />
hati jiwaku di bunuh kelemahan <br />
<br />
malam - malamlah kau siang <br />
aku belum sempat menangis <br />
di sunyi sepi pada sejenak sujudku <br />
kantong takutku di gelar kegelapan <br />
<br />
siang - sianglah kau malam <br />
terang - teranglah kau gelap <br />
malam - malamlah kau siang <br />
aku padamu <br />
mengasa kasih dari tanganNya</div><br />
<br />
<p align="right" color="grey">Sanggulan, 2005</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-56866704830408800802013-05-10T08:00:00.001+07:002013-06-08T21:28:32.146+07:00Tuan Pembual dan Tuan Presiden<div align="justify">Seperti Sang Nabi dari Lebanon, aku pun sangat benci dengan Tuan Pembual. Lidahnya berbual semanis madu, tangannya berlipat menggenggam empedu. Apa yang kalian rasakan bila melihat Tuan Pembual berbicara di tivi - tivi? Mual? Muak? Atau malah kagum? Aku sendiri lebih senang mendengar ucapan Squidward Tentacles daripada celoteh Tuan Pembual. <br />
<a name='more'></a> <br />
Tuan Presiden adalah pemuja kental Tuan Pembual. Tiap Tuan Pembual berorasi, Tuan Presiden selalu berada di shaf paling depan dengan mulut menganga. Lalat berdengung bersorak bergembira menikmati sisa - sisa daging yang terjepit diantara gigi - giginya. Daging - daging berwarna merah darah dengan bau yang menyengat. Nampak jelas sebagian gerahamnya yang berlubang. Tapi tak satupun bait - bait janji yang pernah ia ikrarkan melekat di sana. Pastilah Tuan Presiden sering sakit gigi karena tusukan duri - duri janji itu. Lalu dia buang begitu saja bersama dahaknya. <br />
<br />
Di telinga Tuan Presiden, setiap ucapan Tuan Pembual lebih seksi dari Farah Quinn yang senang membelah dada. Namun hanya sekedar menikmati, Tuan Presiden sama sekali tidak mengerti makna dari kalimat per kalimat Tuan Pembual. Kalimat yang disusun dari kata - kata yang berbau anyir yang merusak otak dan pendengaran Tuan Presiden. Jadi percuma saja kau berbicara lemah lembut pada Tuan Presiden, teriakan sekarat orang teraniaya pun tak ia dengar. (Karena tulinya), ia menganggap semua orang tak perduli padanya, mengucilkannya, membuatnya menderita. Dan bila giliran Tuan Presiden berbicara, hanya perasaan pribadinya yang acapkali ia sejarahkan. <br />
<br />
Bahwa nyatanya Tuan Presiden dan Tuan Pembual telah lama berkawan intim, sangat - sangat intim hanya sedikit yang tahu itu. Jika kau ingin mengintip kekariban mereka, lihatlah ketika cahaya melukis bayangan. Seperti syair Syeikh Fariduddin Attar tentang Maharaja Simuraq, bila kau memandang Tuan Presiden maka akan tampak bayangan Tuan Pembual dan ketika kau menatap Tuan Pembual maka kau akan melihat bayangan Tuan Presiden.</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-27747689938082484042013-05-09T06:57:00.001+07:002013-06-08T21:43:25.290+07:00Fana<div style="text-align:left;font-style:italic;">Kemanakah derita kemarin, <br />
Yang berat tiada tara? <br />
Inilah matra fana <br />
Datang lalu hilang, <br />
Semau hatinya <br />
Maka mengapa kau menangis? <br />
<a name='more'></a> <br />
Ketika ia singgah <br />
Dalam rupa mengerikan <br />
Tulang belulang tercabut dari tempatnya <br />
Akal berlari melepas tanggungjawabnya <br />
Ditempat cahaya berbinar, <br />
Gelap mulai mengelabu <br />
Tenanglah, ia hanya singgah <br />
Maka sambutlah ia dengan ramah <br />
Katakan selamat datang kepadanya <br />
Jika tak sanggup, <br />
Cukuplah dengan senyum <br />
Karena kau lebih digdaya darinya <br />
<br />
Kemanakah senang kemarin, <br />
Yang indah tiada tara? <br />
Inilah ruang fana <br />
Hadir lalu terusir <br />
Maka mengapa kau tertawa?</div><br />
<br />
<p align="right" color="grey">Sanggulan, 2012</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-81471638389374659562013-05-06T09:16:00.001+07:002020-07-05T09:00:56.202+07:00Langit Barat Belum Berwarna Jingga<div align="left" font="" style="italic">langit barat belum berwarna jingga <br>
dan siang baru usai bercengkrama. <br>
di putaran, matahari duduk bersila <br>
tersenyum pada wajah - wajah ceria <br>
menebar benih emas dimuka bumi. <br>
<a name="more"></a> <br>
di sana, <br>
di tempat yang tak terlihat oleh matahari. <br>
pria tua itu duduk menekur <br>
kepalanya tergolek diantara lututnya. <br>
lelah dan berat menumpuk dipunggungnya. <br>
bersembunyi dari tatapan nanar matahari <br>
seakan ia ejekan <br>
dalam sejarah, <br>
sejarah yang ia tulis <br>
sejarah yang tersimpan dimata cekungnya <br>
ketika ia lupa tentang makna kefanaan. <br>
namun, <br>
ketika ia sadar tentang makna kehilangan <br>
tanah berpijak berpaling dari sinaran. <br>
<br>
pria tua itu, <br>
mengikat kakinya pada bumi <br>
meletakkan langit di atas punggungnya <br>
tangannya gemetar memeluk nyawa. <br>
sebagai yang pernah perkasa, <br>
ia menyesal mengejar fatamorgana. <br>
sebagai yang telah renta, <br>
ia masih belum siap untuk sekarat</div><br>
<br>
<p align="right">Sanggulan, 2012</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-20415741403184724402013-05-05T07:59:00.000+07:002013-06-08T21:39:00.677+07:00Rindang Meranggas<div align="justify">Selepas bercengkerama dengan hujan, pohon yang tumbuh di tepi jalan itu semakin menghijau saja. Ia tampak begitu berseri dalam dekapan sinar keemasan matahari pagi. Angin yang berhembus lembut menyapa dedaunan dan mengajaknya berdansa. <a name='more'></a> Jari jemarinya turut bergoyang mengikuti irama siulan angin dan nyanyian daun. Sementara daun yang kering tak mau merusak keelokan sang pohon, ia pun melepaskan diri menyatu dengan tanah yang masih basah oleh hujan semalam.<br />
<br />
Pohon yang tumbuh di tepi jalan itu tampak begitu tangguh. Akar - akarnya panjang menggenggam bumi dengan erat. Batangnya besar dan kokoh seolah mampu menyangga langit. Daunnya rindang menutup matahari. Burung - burung merasa nyaman membangun sarang di cecabang dan rerantingnya. Sementara manusia menikmati kesejukan di bawahnya.<br />
<br />
Musim berganti, 'tlah berlalu beberapa kurun hujan tak juga menampakkan batang hidungnya walau sekadar gerimis. Sedang matahari semakin menajamkan pedangnya, membelah bumi dan membakar angin. Inilah masa yang berat bagi pohon yang tumbuh di tepi jalan itu. Ia utus akarnya jauh - jauh sekadar mencari sedikit penawar lapar dan dahaga. Ketika persediaan semakin menipis dan makanan semakin sulit ditemukan sementara hujan masih entah, perlahan pohon itu mulai menggugurkan dedaunan yang membuatnya elok dan disukai.<br />
<br />
Kini, pohon yang tumbuh di tepi jalan itu ranggas tak berdaun. Demi tetap bertahan hidup ia rela kehilangan rindang. Tak perduli ia apa kata orang, tak perduli ia kehilangan keindahan, tak perduli ia kehilangan kegagahan, ia terus berjuang untuk tetap hidup. Tak ada kata putus asa apalagi sampai bunuh diri. Ia yakin musim akan kembali berganti dan hujan akan datang. Bila saat itu telah tiba, keindahan itu pun akan kembali.</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-23013222700714390462013-05-02T18:25:00.001+07:002013-06-08T21:43:25.288+07:00Perusak Malam<div style="text-align:left;font-style:italic;">Bersiaplah,<br />
Kala malam mulai menjejak pundakmu,<br />
Mencolok anak matamu hingga ke otak,<br />
Sungguh ia tak sendirian,<br />
Ribuan legiun perusak malam membonceng Dalam kekuatan penuh,<br />
Wajah mereka sangat buruk,<br />
Hati mereka jauh lebih buruk.<a name='more'></a><br />
Datang dari matra yang kelam,<br />
Meski sangat dekat<br />
Namun tak terlihat,<br />
Menguasai setiap jengkal kegelapan<br />
Bersama kesumat yang sudah sangat tua<br />
Dan tak pernah padam<br />
Hingga dunia binasa.<br />
Mereka akan menyerangmu,<br />
Mengaliri darahmu,<br />
Merahkan hati dan otakmu,<br />
Menyebarkan virus pembalik<br />
Lalu yang pahit terasa manis<br />
Lalu yang manis terasa pahit<br />
Ingatlah<br />
Hanya satu yang mereka citakan<br />
Kau celaka dan binasa bersama mereka<br />
<br />
Bersiaplah,<br />
Kala malam semakin pekat<br />
Kala sunyi membunuh detak nadi<br />
Kala Sang Maharaja Semesta<br />
Bertahta di singgasana bumi<br />
Menyebar kekuatan<br />
Menebar kirana<br />
Bagimu yang rindu<br />
Demi taklukkan para perusak malam</div><br />
<p align="right">Sanggulan, 2012</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-77353043924189298932013-04-29T08:07:00.001+07:002013-06-08T21:43:25.299+07:00Sebelum Tanah<div style="text-align:left;font-style:italic;">Mari kita luangkan waktu <br />
Diantara bising bujukan nafsu <br />
Mendekatlah ke tanah <br />
Melingkar diseputarnya <br />
Ia akan berkisah <br />
Tentang anak - anaknya yang kemaruk <br />
Dan binasa <br />
Dan kembali ke rahimnya <br />
<a name='more'></a> <br />
Mereka menanam pohon kencana <br />
Di atas tanah loba <br />
Disiram dengan airmata <br />
Darah dan nyawa <br />
Agar kelak berdaun ratna <br />
Berbuah mutiara <br />
<br />
Anak - anak itu, <br />
Tak pernah berhenti <br />
Mencintai diri sendiri <br />
Tak pernah berhenti <br />
Mencari ujung bumi <br />
Tak akan berhenti <br />
Sebelum tanah <br />
Tidurkan mereka dipelukannya</div><br />
<br />
<p align="right">Sanggulan, 2012</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-17837771386779978682013-04-26T17:57:00.001+07:002013-06-08T21:39:00.675+07:00Tangisan Dinding<div align="justify">Semenjak tivi membayar aib, membeli fitnah dan menjual gosip, dinding - dinding terisak dalam senyap. Kekuatannya sebagai pelindung telah lenyap. <br />
<a name='more'></a> <br />
Manusia semakin kemaruk, bumi nan indah hancur dikeruk. Manusia terus menggerus, menelisik catatan kelam yang tersimpan dalam kalender yang terhapus. Menembus dinding - dinding masa lalu, demi bangkai penuh bau. Merobohkan dinding - dinding kaidah, demi keuntungan dan uang jadah. Keruhkan telaga yang tenang dan bening, demi hancurnya suasana hikmat dan hening. Lalu tebar kezaliman di semesta, mereka bangga luar biasa. <br />
<br />
Mereka sanggup merinci semut di dasar sarang, namun tak kenal gajah yang terpampang. Mereka kanibal tak bermoral, menusuk saudara sendiri dengan belati verbal. Pudar cahaya lenyap akal, perkara haram dianggap halal. <br />
<br />
Semenjak manusia menyukai aib, mempercayai fitnah dan meyakini gosip, dinding - dinding berangsur lenyap. Di kerat rayap - rayap berhati kedap.</div><br />
<br />
<br />
<p align="right">Sanggulan, 2012</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-39386527727075519902013-04-23T18:19:00.001+07:002013-06-08T21:39:00.679+07:00Tukang Peluh Dan Tukang Keluh<div align="justify">Ketika matahari perlahan beringsut tepat di atas kepala, dua orang manusia bertemu disalah-sebuah titik sirkulasi yang bernama kelelahan. Yang pertama bernaung disebuah pohon rindang beralas rerumputan dengan tubuh basah kuyup oleh peluh. Sambil menyeka keringat ia bergumam, "Hari begitu cerah, ini kesempatan yang baik untuk segera menyelesaikan pekerjaan ini."
<br /><a name='more'></a>
<br />Yang kedua duduk disebuah warung di tepi jalan, menikmati segelas es jeruk dan sepiring nasi campur. Sambil menyeka keringat dengan sapu tangan ia berkata pada dirinya sendiri, "Sialan, hari begini panas, bagaimana saya bisa bekerja?"
<br />
<br />Jelang beberapa menit kemudian tiba - tiba langit yang cerah berubah menjadi gelap, mendung. Angin berhembus dingin. Titik - titik hujan mulai menggerimis. Lalu menjadi deras menciptakan aliran - aliran anak sungai. Yang pertama segera berkemas dan pulang ke rumah. "Hujan begini deras, lebih baik saya pulang dan mengerjakan pekerjaan lain di rumah biarlah pekerjaan ini saya sambung esok hari." gumamnya dalam hati.
<br />
<br />Sementara yang kedua masih bernaung di dalam warung makan dan masih menikmati makanannya. Sambil melihat jalan yang basah ia kembali berkesah, "Sial sial, hujan lagi...saya bakalan terjebak di sini. Nggak bisa pulang, nggak bisa kerja...sial..bener - bener sial!!"
<br />
<br />Begitulah, ketika yang pertama telah jauh berlalu dari titik kelelahan dan memulai pekerjaan yang lain, yang kedua terkubur kaku dalam caci maki dan keluh kesah yang tak berkesesudahan. Pekerjaan terbengkalai dan kehilangan kesempatan untuk mengerjakan pekerjaan yang lain.</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-8666219885177315272013-04-21T08:06:00.001+07:002013-06-08T21:28:32.151+07:00Peminjam Tangan Tuhan<div style="text-align:left;font-style:italic;">Hari itu, <br />
(Antara kau dan Tuhan) <br />
Ketika urusan langit dibumikan <br />
Ketika jemari Tuhan dimanusiakan <br />
Menangislah! <a name='more'></a> <br />
Sesungguhnya <br />
Kau dalam fitnah yang besar <br />
Takutlah! <br />
Semoga jalanmu diluruskan <br />
Tapi mengapa <br />
(Antara kau dan Tuhan) <br />
Kau tertawa <br />
Dan menepuk dada? <br />
Ingatlah! Tuhan akan bertanya <br />
Tentang napas - napas yang kau genggam <br />
Sampai di mana napas itu berhembus. <br />
Apakah kau menyangka <br />
(Antara kau dan Tuhan) <br />
Kau akan aman - aman saja? <br />
Apakah kau mengira <br />
(Antara kau dan Tuhan) <br />
Ia memberi hadiah atas prestasimu? <br />
Sekali - kali tidak! <br />
Menangislah! <br />
Sungguh <br />
Kau benar - benar dalam fitnah yang besar. <br />
Hari ini, <br />
(Antar kau, kami dan Tuhan) <br />
Ketika hak bumi kau janjikan <br />
Ketika hak langit kau sumpahkan <br />
Berilah kami nyawa <br />
Kami hanya berjuta darah kering <br />
Berilah kami nyawa <br />
Meskipun kau hanya punya satu nyawa <br />
Cintailah! <br />
(Antara kau, kami dan Tuhan) <br />
Kami akan membalas cintamu, niscaya. <br />
Tuhan akan mencurahkan cintaNya, niscaya.</div><br />
<br />
<br />
<p align="right">Sanggulan, 2012</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-88365529324414914082013-04-18T09:03:00.001+07:002020-06-30T14:29:54.519+07:00(Kita) Bukan Pecundang<div style="text-align:left;font-style:italic;">Wahai jiwa - jiwa yang terpedaya <br>
Dan terbang dengan sayap - sayap mimpi <br>
Tanya pada mereka yang beterbangan <br>
Diantara kisaran bintang - bintang <br>
Di manakah anak tangga langit? <br>
Lalu mendakilah <br>
Bintang tak pernah jatuh ke bumi <br>
Lalu bangunlah <br>
Bintang terlalu jauh buat pemimpi <br>
<a name="more"></a> <br>
Wahai jiwa - jiwa yang terpesona <br>
Dan berdaulat di puri - puri dengki <br>
Tanya pada mereka yang bertahta <br>
Di singgasana kekaisaran surga - surga <br>
Di manakah kunci pintu langit? <br>
Lalu carilah <br>
Surga tak pernah diberikan percuma <br>
Lalu berhentilah <br>
Surga terlalu mahal bagi pendengki <br>
<br>
Wahai jiwa - jiwa yang sunyi <br>
Berhentilah bermain dengan pesona <br>
Mulailah mengikuti matahari dan <br>
Lepaskan gaduh sanubari <br>
Kala gulita memeluk sepi <br>
<br>
Wahai jiwa - jiwa yang lupa <br>
Ingatlah, kita adalah pejuang <br>
Dengarlah epik masa kecil <br>
Tentang belajar berjalan <br>
Jawablah, apakah ada yang pernah menyerah?</div><br>
<br>
<p align="right">Sanggulan, 2012</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-51378022029594038832013-04-16T20:35:00.001+07:002013-06-08T21:43:25.296+07:00Kutukan Padang Larangan<div align="justify">"Mama siap?"<br />
Aku tersenyum, <br />
"Bukankah sudah sejak lama mama ingin semua orang tahu bahwa ayah adalah lelaki baik yang tak bersalah."<br />
Lelaki bertubuh kekar itu menatap mataku.<br />
"Dan inilah saatnya." lanjutku mantap.<br />
Lelaki bertubuh kekar itu memeluk tubuh mungilku.<br />
<a name='more'></a><br />
Lelaki bertubuh kekar itu adalah suamiku. Dulu ia nikahi aku tanpa perasaan cinta sedikitpun. Ia nikahi aku demi sedikit memperbaiki aib yang terlanjur aku corengkan akibat bodohnya keremajaanku. Padahal ketika itu ia sedang asyik memadu kasih dengan kak Yunita, tetanggaku yang rumahnya hanya diselai satu rumah dari rumahku.<br />
<br />
Aib itu bermula saat aku masih di kelas dua SMP dan anehnya diusia sebalig itu aku malah jatuh hati pada seorang pria beristri. Pria beristri yang pandai membujuk rayu hingga aku merelakan tubuhku disentuhnya. Berkali - kali. Dan ketika sentuhan itu menembus rahim, pria beristri itu sembunyi dibalik punggung istrinya. Keluargaku kalut. Aku dimarahi habis - habisan. Setiap hari aku hanya bisa menangis dan menangis menyesali apa yang terlambat aku ketahui. Betapa aku tahu itu dosa tapi sungguh aku tidak tahu bahwa sentuhan - sentuhan itu dapat menjadikan aku seorang ibu dengan atau tanpa nikah. Oh Tuhan mestinya pengetahuanku tentang dosa cukup untuk menakutiku dari perbuatan terkutuk ini. Namun penyesalanku tak mampu mengubah takdir atau membalikkan waktu.<br />
<br />
Aku sudah tidak bersekolah lagi. Seharian aku habiskan di dalam rumah. Para tetangga mulai bertanya - tanya dan tak perlu waktu lama, entah dari mana datangnya berita kehamilanku merebak. Padahal kami sudah menjaganya sedemikian rupa, bahkan jangan kata orang lain famili kami pun hanya beberapa yang tahu. Lebih anehnya lagi yang disebut - sebut menghamili aku adalah kak Sam, pemuda tampan kampung tetangga, pujaan hati kak Yunita.<br />
<br />
Tiba - tiba aku teringat sesuatu. Malam itu, ketika kak Sam yang tengah berjalan berdua dengan kak Yunita memergoki aku dan pria beristriku tengah bermesraan dikeremangan. Keduanya tidak mampu menyembunyikan kekagetan yang sarat saat mengetahui siapa pria yang bersamaku. Kak Yunita lalu mengajak aku untuk pulang tapi aku menolak. Kak Yunita terus membujuk dan aku tetap menolak. Akhirnya pria beristriku yang semula diam, lantang bersuara.<br />
"Kalau dia nggak mau pulang ya jangan dipaksa."<br />
"Tapi bang, ini sudah terlalu larut malam, tak baik untuk dia." Kak Sam yang menjawab.<br />
"Tapi kan ada aku yang menjaga." pria beristri ngotot.<br />
"Terus terang aku meragukan itu bang." tepis kak Sam tetap dengan suara yang terkendali.<br />
"Apa maksud kamu Sam?"<br />
"Anak istri abang yang seharusnya abang jaga, abang tinggalkan begitu saja, maka mana mungkin saya tidak ragu dengan niat penjagaan abang."<br />
Percekcokan pun pecah tapi tak lama karena aku buru - buru mengiyakan untuk pulang.<br />
<br />
Aku curiga pria beristri itulah yang menyebarkan aib dan membuat fitnah ini. Hanya dia orang luar yang tahu tentang kehamilanku dan teramat mustahil jika pihak keluargaku sendiri yang telah menepuk air di dulang. Dan sebelum semuanya semakin kacau aku harus memberitahu kak Yunita bahwa apa yang dituduhkan pada kak Sam adalah fitnah belaka.<br />
<p align="center">* * *</p>"Mardiyah."<br />
"Ya ayah."<br />
"Besok malam keluarga Sam akan datang mengantar lamaran."<br />
"Apa??!"<br />
Aku kaget tak alang kepalang. Aku tidak menyangka ayah terinspirasi dengan fitnah itu dan bagaimana mungkin kak Sam mau menerima permintaan ayahku. Kak Sam memang baik - itu yang sering aku dengar dari kak Yunita - tapi sungguh di luar dugaanku kak Sam mampu melakukan kebaikan tingkat tinggi seperti ini. Perasaanku benar - benar tak karuan. Aku ingat kak Yunita dan kebaikannya selama ini. Betapa hancur hatinya jika pria yang ia cintai malah menikah dengan aku, gadis yang ia anggap adiknya sendiri. Ingin rasanya aku mati saja tetapi aku tak mau menambah dosa lagi. Akhirnya aku hanya bisa menangis dan pasrah. Sungguh begitu besar malapetaka yang aku bawa pada sekelilingku akibat kebodohanku. Yaa Allah ampuni aku...<br />
<br />
Seminggu setelah pernikahan kami, kak Sam mengajak aku pindah ke kota. Ia tak ingin keberadaan dan kebersamaan kami menyakiti kak Yunita walaupun sebenarnya kak Yunita telah mengetahui semuanya dan ikhlas melepas kak Sam. Namun sehari sebelum berangkat, kak Sam mengakui kalau sebenarnya dialah yang tak kuat jika melihat kak Yunita bersama orang lain.<br />
<br />
"Ma...mama...,...mama!!"<br />
"Ya...iya...a..ada apa?" aku tergagap.<br />
"Acara udah mau dimulai tuh?"<br />
Aku bergegas menyusul suamiku ke ruang tengah rumah ayahku. Hari ini adalah hari pernikahan putra sulungku, Rizal. Kami sengaja menghelat acara ini di kampung halaman kami, selain karena mempelai wanitanya berasal dari kampung yang sama, juga untuk melaksanakan niatku membersihkan nama suamiku yang selama ini rela menerima fitnah dan cemooh orang sekampung atas laku yang tidak ia perbuat. Atas dosa yang aku buat. Perihal Rizal aku sudah tidak khawatir, sejak usianya 16 tahun kami sudah menceritakan semua tentang dirinya. Walau awalnya ia sangat terpukul tetapi perlahan - perlahan bisa menerima.<br />
<br />
Mataku mengitari seluruh ruangan, mencoba mengenali setiap yang hadir. Sebagian ada yang masih aku kenali, sebagian lagi aku benar - benar tidak tahu atau mungkin lupa. Selama 25 tahun kami meninggalkan kampung ini dan hanya sesekali pulang membuat memoriku berjuang keras untuk merangkai kembali potongan - potongan wajah yang pernah akrab di kehidupanku dahulu. Sayang si pria beristri itu sama sekali tidak tampak, mungkin ia tak punya nyali menunjukkan batang hidungnya di sini. Padahal aku akan membuat kejutan untuknya.<br />
<br />
Saat aku sibuk dengan pikiran - pikiranku, tahu - tahu acara sudah dimulai. Pak Penghulu menjabat tangan Rizal yang tampak agak tegang. Kemudian beliau mengucap ijab.<br />
"Bismillahirrahmanirrohim. Saya nikahkan kamu dengan Rita Hafsari binti Rosihan Ishaq de..."<br />
"Apa?!!"<br />
Semua yang hadir terperanjat dengan selaanku.<br />
"Pak, Bapak tidak keliru menyebut bintinya?" tanyaku pada Pak Penghulu sebelum yang lain sempat menanyakan keterkejutanku.<br />
"Ya, seperti itu yang tertulis di sini." Penghulu menunjukkan selembar kertas yang bertuliskan nama Rita dan nama ayahnya persis seperti yang beliau sebutkan tadi. Aku mendadak tegang, perasaanku mulai tak nyaman. Kutoleh ibunya Rita, beliau menunduk dengan muka merah, malu. Perasaanku semakin kacau. Yaa Tuhan ada apa ini? Aku berpaling ke Rita yang tampak sangat tertekan.<br />
"Rit, bukankah ayah kamu Pak Junaidi?" tanyaku sambil menunjuk Pak Junaidi yang duduk di samping istrinya. Rita menunduk, diam. Tampak ingin menangis.<br />
"Rita katakan ada apa ini?"<br />
Aku semakin tegang dan semakin takut.<br />
"Bu...maafkan Rita..." akhirnya, Rita menatap aku dengan mata berkaca - kaca, "Selama ini Rita tak berterus terang, sebenarnya Pak Junaidi adalah ayah tiri Rita...beliau menikahi ibu saat ibu mengandung Rit..."<br />
Semua gelap, gelap dan semakin gelap. Terakhir yang aku dengar adalah teriakan histeris Rita.</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-27969895869579257042013-04-15T15:27:00.001+07:002013-06-08T21:43:25.291+07:00Negeri Sunyi<div style="text-align:left;font-style:italic;">.Sunyi
<br />Tahukah kau apa itu sunyi?
<br />Ketika ia mendekapmu dalam ruang peka
<br />Ketika ia membisikkan dengan lantang
<br />Tentang semua <a name='more'></a>
<br />Yang samar di telan gelap
<br />Yang terpendam di dasar rasa
<br />Yang sayup - sayup di semilir bayu
<br />Yang tersembunyi di balik tipu
<br />Dan jiwamu tentram karenanya
<br />
<br />.Sunyi
<br />Tak takutkah kau dengan sunyi?
<br />Ketika ia membunuhmu tanpa gema
<br />Ketika ia mengundang datang
<br />Semua penentang
<br />Yang gelap dalam samaran
<br />Yang pudar rasa dalam dendam
<br />Yang bujuk rayu dalam nafsu
<br />Yang tersembul dibalik tipu
<br />Dan jiwamu terancam karenanya
<br />
<br />.Sunyi
<br />Tahukah kau siapa yang disukai sunyi?
<br />Mereka yang bersendiri dan tersipu
<br />Menangisi khilaf
<br />Mengais harap
<br />Atau
<br />Mereka yang bersekutu dan tertipu
<br />Menunggangi gelap
<br />Menebar kalap?</div>
<br />
<br />
<br /><p align="right">Sanggulan, 2012</p>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-85873553157845686292013-04-14T18:03:00.001+07:002013-06-08T21:28:32.149+07:00Mengharap Citra Setinggi Langit, Cinta Di Tangan Dilepaskan<div align="justify">Sang Pelukis buntung itu masygul, ia merasa galau. Lukisannya tak pernah selesai dan hampir semua yang lewat di depan pondok lukisnya selalu mengiangkan komentar sumbang. <a name='more'></a> Bahkan beberapa hari yang lalu seekor anjing merobek bagian hidung dari lukisannya karena memang lebih mirip tulang daripada hidung. Anjing salah mata itu nyaris mati ia tembak kalau saja tidak bergegas kabur dan raib di rumah tetangga. <br />
<br />
Sang Pelukis buntung hanya ingin melukis dirinya dengan gambaran yang sempurna dan manis terlihat. Teman - temannya mendukung semua daya upayanya dan memberi nilai sempurna untuk lukisan setengah jadi itu. Tapi mengapa mereka yang sekedar lewat dan melihat sekilas malah mengatakan dia sungguh tak pantas jadi pelukis? Dahulu banyak yang mencinta dan memujinya. Kini semua membenci dan memojokkannya. "Duhai sempurnaku di manakah letak salahku?" <br />
<br />
Seorang anak kecil yang lewat di depan pondok lukisnya tertegun mendengar keluhan paling pede (atau paling bodo) yang pernah ia dengar, "Pak Tua, kesalahan bapak akan sempurna jika bapak hanya bisa melamun seperti itu. Lebih baik bapak ambil sapu dan mulai membersihkan dedaunan kering yang berserakan di halaman rumah bapak ini." Merah kuping Sang Pelukis buntung mendengar celoteh si anak. Nasib baik anak itu segera berlalu, jika tidak pasti ia bernasib buruk. Mungkin kasut butut Sang Pelukis buntung akan menimpa kepalanya. <br />
<br />
Mata Sang Pelukis buntung mengitari luas halaman pondok. Dalam hati ia bergumam, benar juga itu anak. Tapi bukannya mengambil sapu, Sang Pelukis buntung justru merenungi pohon meranggas di atas dongakannya. Hmm...pohon ini rela kehilangan indah rindangnya demi tetap hidup hingga kelak musim berganti. Tiba - tiba dia tersentak dan berlari ke dalam. Dalam hitungan menit Sang Pelukis buntung pun sudah keluar bersama peralatan lukisnya. <br />
<br />
Sang Pelukis sudah tidak masygul lagi, kegalaupun telah sirna. Lukisan pohon meranggas itu begitu alami. Semua yang melihat berdecak kagum dan mengacungkan jempol. Seekor burung pelatuk tampak bingung memilih diantara dua pohon meranggas itu. <br />
<br />
Demikianlah akhir bahagia dari cerita Sang Pelukis buntung yang ditulis si pembawa cerita. Namun kejadian sebenarnya tidaklah seperti itu, Sang Pelukis buntung justru menebang pohon meranggas yang telah memberinya pencerahan. Ia tersinggung dan kalap mendengar ucapan pohon yang dianggapnya sebuah ejekan, "Citra akan membuatmu lemah dan menderita. Cinta akan menjadikanmu kuat dan tulus." Sampai kini Sang Pelukis buntung masih terus melukis dirinya sendiri dan siapa saja yang berani mengusik keasyikannya pasti akan dilempar dengan kasut bututnya.</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1195247412840326525.post-84839776626344984412013-04-13T11:01:00.001+07:002013-06-08T21:28:32.148+07:00Pemakan Mimpi<div align="justify"><p style="color:grey;font-style:italic;">Seratus masa di kastil bencana</p><br />
Anak tak berbaju itu tak lagi bisa terlelap. Purwarupa mimpinya yang hanya secuil telah ludes di gasak para pemakan mimpi. Isak tangisnya runcing mencungkil mata dan tajam mengiris kulit. <a name='more'></a> Lara hati dan tubuhnya lebih dera daripada saat sang kinasih melepas nyawa. Lapar, haus, rindu dan dendam menumpuk membebani pundaknya. Namun setiap saat ia masih sempat memanjat langit mencoba membawa setitik nur ke hamparan buana. <br />
<br />
<p style="color:grey;font-style:italic;">Sesaat masa di kastil kencana</p><br />
Para pemakan mimpi itu ribut riuh bersendawa sambil menimang - nimang perut buncit mereka di peranginan. Wujud mereka menyerupai tikus, ular, harimau atau kombinasi dari ketiganya. Otak mereka sangat besar. Bukan karena pandai tapi telah membengkak oleh virus kebodohan yang tak sanggup mereka obati. Telinga mereka dipenuhi kesenangan dan bisikan nafsu. Sehingga tragedi terdengar seperti komedi. Larangan terdengar seperti gurauan. Malangnya, jumlah pemakan mimpi ini bukan hanya satu dua saja tapi sangatlah banyak, nyaris menjadi mayoritas dan celakanya mereka adalah pemegang tampuk kekuasaan atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Mereka paham seluk beluk setiap lorong mimpi. Mereka tahu bagaimana membuat orang tetap bermimpi meski mimpi itu sudah tidak lagi bernyawa. Mereka juga rajin menggosok gigi dan mencuci tangan agar tak tampak bekas urat - urat mimpi yang tersangkut disela - sela gigi mereka. Dan sebagai pemanis wajah, topeng senyum nan lembut senantiasa menutupi paras buruk mereka. <br />
<br />
<p style="color:grey;font-style:italic;">Suatu ketika di kastil nirwana</p><br />
Anak tak berbaju itu terlelap dipelukan bumi. Angin yang membawa semerbak harum aroma nirwana membangunkannya. Ketika ia membuka mata ia pun lupa bahwa ia pernah sengsara.</div>maliki.ghttp://www.blogger.com/profile/14895556186147449450noreply@blogger.com0