twitterfacebookgoogle plusrss feedemail

Sabtu, 02 November 2013

Dibunuh Takut

Tak ada yang terlampau menyedihkan dan pandir melebihi ketakutan pada angan - angan sendiri. Takut pada sesuatu yang belum pasti terjadi. Takut pada sesuatu yang belum pasti ada. Jiwaku, pandir dan menyedihkan. Menurut saja apa - apa kata takut tanpa berani melakukan perlawanan meski sadar semua ucapan takut banyak bohong dan salahnya.

Jiwaku pandir dan menyedihkan. Piara takut dari kecil hingga membesar melebihi besar dirinya sendiri. Kau tahu, manakala piaraanmu telah lebih berdaya dari dirimu, kau akan diperbudak dengan sangat kejam hingga akalmu menjadi gagap (dan pada gilirannya menjadi gagu). Lalu urat - belurat dan tulang - belulang tak lagi mampu mengenali dan menterjemahkan perintahnya. Rasakan seperti apa buruknya penghidupanmu.

Jiwaku pandir dan menyedihkan. Lidahnya kelu dan bibirnya luka. Tak ada makanan yang sanggup ia telan meski beraneka ragam dan pelbagai citarasa makanan yang nikmat - nikmat tersaji di depan persilaannya. Semua hanya lezat pada matanya, tidak pada rasanya. Kurus, dekil dan nyaris debil, seperti itu keadaannya.

Jiwaku pandir dan menyedihkan. Hidup sekarat dalam lambung takut. Tenggelam dalam cairan praduga yang pekat dan gelap. Muasal dari segala cerita momok, penghantu jiwa. Meski tanpa bukti dan dalil yang shahih, semua cerita itu terjilid dalam kitab sunan yang terus menerus dibaca berulang - ulang.

Aku mencoba bertanya pada Jiwaku yang pandir dan menyedihkan, siapa gerangan yang mula mengenalkan takut padanya? Ataukah takut datang memperkenalkan dirinya sendiri? Jiwaku terdiam cukup lama, sepertinya ia mencoba membuat analisa dari apa yang pernah ia saksikan pada jiwa - jiwa lain yang juga menderita dan dari tutur sejarah yang masih dapat ia ingat.

Jiwaku tampak hendak bicara tapi masih terdiam. Mungkin sedang mencari kata yang tepat untuk ungkapkan pikirannya. Dan akhirnya, "Aku dikenalkan oleh orang - orang terdekatku". Sambil mengangguk - angguk seolah semakin meyakini pikirannya, "Ya, mereka yang telah mengenalkan aku pada takut. Mereka mengenalkan aku pada takut hantu dan takut kalah, lalu seakan aku ini tanah subur, mereka pun - para takut itu, beranak pinak dan tumbuh biak memenuhi mayapadaku yang masih kosong dari ilmu dan kebenaran".
"Kapan itu?" tanyaku.
"Saat aku masih anak - anak."
"Lalu, bukankah sekarang kau sudah mempunyai ilmu dan tahu kebenaran tapi mengapa kau masih takut?"
"Aku telah lama mati, dan yang kau lihat sekarang ini hanyalah sesosok mayat hidup."
Aku tertawa, "Jiwaku, kau terlalu mendramatisir. Kau belum mati, kau hanya sakit...dan itu ada obatnya."
"Apa obatnya?" tanya Jiwaku cepat, namun agak sinis. Mungkin karena putus harapan.

Aku tak serta merta menjawab, kuhela napas sepenghirupan lalu kuhembus, rasanya sangat nikmat dan melegakan. Sesak napas ringan yang aku derita membuat dadaku terasa beku.
"Kau harus lebih kenal dengan para takut." kutatap anak matanya yang sudah tak lagi hitam.
Jiwaku mengernyitkan dahi, alis tebal kembarnya nyaris bertaut dan sesaat kemudian ia terbahak - bahak. Aku jadi ingin tertawa melihat bagaimana rupa wajahnya ketika tertawa sambil menahan rasa sakit. Tapi aku tak tega, jadi aku biarkan ia menghabiskan sisa tawanya.
"Jadi itu obatnya?" Jiwaku tampak belum serius, masih ada gurat halus senyum dikedua ujung bibirnya.
"Iya." tegasku, lebih serius dari sebelumnya.
Jiwaku menatapku, "Apa kamu lupa bahwa aku sudah puluhan tahun bersama para takut?"
"Tapi itu tidak berarti bahwa kau mengenali siapa dan bagaimana mereka sebenarnya." bantahku dengan sedikit melembutkan suara.
"Hei men...aku sudah sangat mengenal mereka melebihi dari apapun yang diketahui orang tentang mereka. Aku bukan hanya tahu siapa dan bagaimana tapi juga apa, mana, bila dan mengapa mereka, para takut terkutuk itu." suaranya meninggi.

Aku tak ingin membuatnya lebih tak bisa mengendalikan emosinya, jadi aku langsung pada prolog maksudku.
"Kamu ingat nggak saat kita masih kecil dan belum bisa berenang? Bukankah waktu itu kita sangat takut dengan air?"
Jiwaku tak bereaksi tapi tampak menyimak.
"Dan kamu juga pasti tahu apa yang terjadi setelah kita bisa berenang? Kita mandi, berenang, menyelam dan bermain setiap hari. Baru berhenti kalau sudah dimarahi ayah." kulihat matanya berbinar kukenangkan masa kecil kami yang teramat indah.
"Semua itu bisa kita lakukan karena kita telah tahu sisi lain dari air. Air memang bisa menenggelamkan bagi mereka yang hanya tahu air menenggelamkan. Tapi bagi yang tahu keajaibannya, air justru mengangkatnya meskipun tanpa menggerakkan tangan dan kaki. Kesalahan memang merugikan bagi mereka yang hanya tahu bahwa salah merugikan. Tapi bagi yang tahu keajaibannya, salah justru menunjukkan mereka pada kebenaran. Kalah memang menyakitkan bagi mereka yang hanya tahu kalah menyakitkan. Tapi bagi yang tahu keajaibannya, kalah justru memberitahukan cara merebut kemenangan. Jadi sejatinya tidak ada yang menakutkan dan perlu ditakuti."

"Bagaimana dengan hantu? Keajaiban apa yang bisa diberikan hantu?" Jiwaku bersuara lagi.
"Hantu?" Aku menggeleng, "Aku belum pernah ketemu hantu. Emang kamu pernah?"
Giliran Jiwaku yang menggeleng.
"Lalu bagaimana kamu tahu hantu itu menakutkan?"
"Dari cerita orang dan film." jawab Jiwaku polos.
"Hanya itu?"
"Hanya itu."
"Ya udah."
"Udah?"
"Kan cuma kata orang dan kata film."

Jiwaku diam. Aku pun diam. Sementara malam semakin sunyi.

Jiwaku diam. Aku pun diam. Sementara malam semakin larut. Aku rebahkan kantukku di atas kasur tua ini dan sebelum terlelap aku masih sempat berharap, semoga besok Jiwaku tak lagi rapuh. Dan... menyedihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bicaralah
sebagai yang memiliki jiwa
atau yang memiliki cinta
atau yang memiliki karsa
atau diam merenungi makna